Sabtu, 28 Mei 2016

Filsafat Masa Skolastik

FILSAFAT MASA SKOLASTIK

Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Pengantar Filsafat
Dosen Pengampu : M. Fuad Al-Amin, Lc., M.P.I
 





Disusun Oleh :
1.      Khatika                                  (2021115129)
2.      Najihatul Istiqomah              (2021115130)
3.      Abdul Mujib                          (2021115131)
4.      Yuris Prudensi Islam            (2021115133)
5.      Mirza Khasanah                   (2021115132)




Kelas C
JURUSAN TARBIYAH/PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2015



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
filsafat pada abad pertengahan adalah suatu arah pemikiran yang berbeda sekali dengan arah pemikiran dunia kuno. Filsafat abad pertengahan menggambarkan suatu zaman yang baru sekali  ditengah-tengah suatu rumpun bangsa yang baru, yaitu bangsa Eropa barat. Filsafat yang baru ini disebut Skolastik.
Belakangan kata skolastik menjadi istilah bagi filsafat pada abad 9-15 yang mempunyai corak khusus yaitu filsafat yang dipengaruhi agama. 
Secara historis, khazanah pemikiran filsafat Yunani pernah mencapai kejayaan dan hasil yang gemilang dengan melahirkan peradaban yunani. Menurut perkembangan sejarah pemikiran manusia, peradaban Yunani merupakan titik tolak peradaban manusia di Dunia . Peradaban Yunani terus menyebar keberbagai bangsa diantaranya adalah bangsa Romawi. Setelah filsafat Yunani sampai kedaratan Eropa, disana mendapatkan lahan baru dari  pertumbuhannya.
Masa skolastik termasuk dalam abad pertengahan yang didalamnya terdapat pemikiran-pemikiran dari para  tokoh masa tersebut, sehingga kita harus mempelajari lebih detail masa  skolastik dalam fillsafat. 
                                                                                  
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan  Filsafat skolastik ?
2.      Apa saja pemikiran Filsafat mainstream skolastik ?
  

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Skolastik
Istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah.[1] Ada juga yang mengatakan bahwa kata skolastik diambil dari kata schuler yang berarti ajaran atau sekolahan.[2] Selain itu juga, terdapat pendapat lain yang mengatakan bahwa skolastik bermula dari perkataan “colastikus” yang dimaksudkan untuk guru yang mengajar disekolah-sekolah atau “keluaran sakolah”.[3] Jadi skolastik berarti sesuatu yang berkaitan dengan sekolah. Kata skolastik menjadi istilah bagi filsafat pada abad 9-15 yang mempunyai corak khusus yaitu filsafat yang dipengaruhi agama. Sebutan skolastik mengungkapkan, bahwa ilmu pengetahuan abad pertengahan diusahakan oleh sekolah-sekolah, dan bahwa ilmu itu terikat pada tuntutan pengajaran di sekolah-sekolah itu. Semula Skolastik timbul di biara-biara tertua di Gallia Selatan. Dari biara-biara di Gallia selatan itu pengaruh Skolastik keluar sampai di Irlandia, di Nederland dan di Jerman. Kemudian Skolastik timbul di sekolah-sekolah kapittel, yaitu sekolah-sekolah yang dikaitkan dengan gereja.[4]
Perkataan skolastik merupakan corak khas dari sejarah filsafat abad pertengahan. Filsafat skolastik adalah filsafat yang mengabdi pada teologi atau filsafat yang rasional memecahkan persoalan-persoalan mengenai berpikir, sifat ada, kejasmanian, kerohanian, baik dan buruk. Terdapat beberapa pengertian dari corak khas scolastik, yaitu:
a.                   Filsaafat Skolastik adalah filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama. Karena skolastik ini sebagai bagian dari kebudayaan abad pertengahan yang religius.
b.                   Filsafat Skolastik adalah filsafat yang mengabdi kepada teologi, atau filsafat yang rasional memecahkan persoalan-persoalan mengenai berfikir, sifat ada, kejasmanian, kerohanian, baik maupun buruk. Dari rumusan tersebut kemudian muncul istilah: skolastik Yahudi, skolastik Arab dan lain-lainnya.
c.                   Filsafat Skolastik adalah suatu sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat, akan dimasukkan kedalam bentuk sintesa yang lebih tinggi antara kepercayaan dan akal.
d.                  Filsafat Skolastik adalah filsafat Nasrani, karena banyak dipengaruhi oleh ajaran gereja.[5]

Filsafat masa skolastik merupakan filsafat yang tumbuh pada abad pertengahan. Dan filsafat barat abad petengahan (476-1492) sendiri sering dikatakan sebagai “abad gelap” atau “masa kegelapan”. Hal ini disebabkan karena pertama, abad pertengahan adalah masa  kebodohan dan kegelapan, yang harus dilalui cepat-cepat untuk sampai pada Renaissance, yaitu masa terang dan pengetahuan. Kedua,  filsafat skolastik diajarkan dan ditulis dengan menggunakan bahasa Latin yang tidak tinggi, berkelibihan memakai syllogisme dan perdebatan-perdebatan kosong, serta hanya membicarakan soal-soal agama.[6]
Selain itu juga, dianggap “abad gelap” karena berdasarkan pada pendekatan sejarah gereja, saat itu tindakan gereja sangat membelenggu kehidupan manusia, sehingga manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi dirinya. Semua hasil-hasil pemikiran manusia diawasi oleh kaum gereja dan apabila terdapat pemikiran yang bertentangan dengan ajaran gereja, maka orang yang mengemukakannya akan mendapatkan hukuman yang berat.[7] Pihak gereja juga melarang diadakannya penyelidikan-penyelidikan berdasarkan rasio terhadap agama. Karena itu kajian terhadap agama (teologi) yang tidak berdasarkan ketuhanan gereja akan mendapat larangan yang ketat. Yang berhak melakukan penyelidikan terhadap agama hanyalah gereja. Dan jika ada yang melanggar peraturan tersebut, mereka akan dianggap orang murtad dan kemudian diadakan pengejaran (inkuisisi).[8]
Abad pertengahan ini  juga dapat dikatakan sebagai suatu masa yang penuh dengan  upaya menggiring manusia kedalam kehidupan atau sistem kepercayaan yang picik dan fanatik, dengan menerima ajaran gereja secara membabi buta. Karena itulah perkembangan ilmu  pengetahuan terhambat. Maka ini penuh dengan dominasi gereja,  yang tujuannya untuk membimbing umat kearah hidup yang salah, tetapi disisi lain,  dominasi gereja ini tanpa dibarengi  dengan memikirkan martabat  dan kebebasan manusia  yang mempunyai perasaan, pemikiran,  keinginan dan cita-cita  untuk menentukan masa depannya sendiri.[9]

B.     Pemikiran filsafat mainstream skolastik
Pada masa skolastik  kristen banyak muncul tokoh-tokoh filsafat yang pemikirannya berpengaruh pada saat itu, diantaranya:
1.      Johanes Scotes Uriugena (810-870)
Johanes Scotus Eriugena (± 810-870) dari Irlandia adalah seorang yang ajaib sekali. Ia menguasai bahasa Yunani dengan amat baik pada suatu zaman orang banyak hampir tidak mengenal bahasa itu. Juga ia berhasil menyusun suatu sistem filsafat yang teratur secara mendalam pada suatu zaman ketika orang masih berfikir hanya dengan mengumpulkan pendapat orang lain saja.
Menurut Johanes Scotes alam adalah keseluruhan realitas. Oleh karena itu hakikat alam adalah satu (esa). Tetapi didalam alam yang esa itu dibedakan 4 bentuk, yaitu:
a.       Alam yang menciptakan, tetapi yang sendiri tidak diciptakan. Alam yang esa secara sempurna ini adalah Allah, satu-satunya realitas adalah hakikat segala sesuatu, yang jauh melebihi segala penentuan, bahkan mengatasi segala ”yang ada”. Menurut Johanes, segala nama Allah termasuk teologia yang bersifat meneguhkan. Hal ini dikarenakan Allah bersifat transenden, hingga hakekatnya tidak dapat dikenal. Dengan demikian maka satu-satunya realitas yang ada tidak dapat dikenal dengan akal. Jadi segala pengetahuan manusia tentang realitas yang satu itu tentu berdasarkan wahyu. 
b.      Alam yang menciptakan, tetapi yang sendiri diciptakan. Ini adalah teofani yang pertama, yaitu dunia idea yang merupakan pola dasar segala sesuatu. Kesatuan segala idea oleh Johanes disebut Logos. Didalam logos “berada” dan “berfikir” merupakan satu kesatuan. Karena berfikir identik dengan berada. Dan karena logos memikirkan idea, maka idea itu berada.
c.       Alam yang diciptakan, tetapi yang sendiri tidak diciptakan. Ini adalah teopani kedua, yaitu perealisasian segala sesuatu didalam dunia yang tampak ini. Jagad raya keluar dari kedalaman Allah sendiri, dan seluruh isi jagad raya adalah bentuk-bentuk penampakan segala idea, sehingga mewujudkan tanda-tanda.
d.      Alam tidak menciptakan dan tidak diciptakan. Inilah Allah sebagai bentuk alam yang keempat. Allah dipandang sebagai tujuan  terakhir segala sesuatu, pengaliran kembali (remanasi) yang mengikuti pengaliran keluar (emanasi).
Pemikiran filsafat Johanes berdasarkan keyakinan kristiani, sehingga segala penelitiannya dimulai dari iman, sedang wahyu ilahi  dipandang sebagai sumber bahan-bahan filsafatnya. Menurutnya akal bertugas mengungkapkan arti yang sebenarnya dari bahan-bahan filsafat yang di galinya dari wahyu ilahi.
Pangkal pemikiran metafisik johanes adalah jika makin umum sifat sesuatu, maka makin nyatalah sesuatu itu. Karena itu zat yang sifatnya paling umum tentu memiliki realitas yang paling tinggi. Didalam pemikiran metafisis ini tersirat suatu etika yang demikian: Manusia harus berusaha menuju kepada suatu kesatuan dengan  Allah, yang hanya dapat dicapai dalam suatu pengetahuan mistis yang mengatasi segala pemikiran akal dan pengalaman indrawi.[10]
2.      Anselmus (1033-1109)
Anselmus dari Canterbury (1033-1109) dilahirkan di Aosta, Piemont, yang kemudian menjadi uskup di Canterbury. Sekalipun sebagian karyanya ditulis pada abad ke-11, akan tetapi karya-karyanya itu besar sekali pengaruhnya atas pemikiran Skolastik, maka tiada keberatan untuk membicarakan tokoh ini sebagai termasuk tokoh abad ke-12. Pemikiran dialektika, atau pemikiran dengan akal, diterima sepenuhnya bagi pemikiran teologia. Akan tetapi bukan dalam arti bahwa hanya akallah yang dapat memimpin orang kepada kepercayaan, melainkan bahwa orang harus percaya dahulu supaya dapat mendapatkan pengertian yang benar akan kebenaran.
Menurut Anselmus, pengertian-pengertian umum atau universalia bukan hanya sebutan saja, akan tetapi juga memiliki realitas. Universalia benar-benar ada kenyataannya, bebas daripada segala hal yang individual, yaitu berada sebagai idea-idea di dalam Allah. Baik pandangan tentang pemikiran akali, maupun pandangannya tentang universelia itu dikaitkan dengan pandangan tentang bukti-bukti tentang adanya  Allah.[11]

3.       Petrus Abaelardus (1079-1142)
Mempunyai kepribadian yang keras dan pandangannya sangat tajam, sehingga sering kali bertengkar dengan para ahli pikir dan pejabat gereja. Ia termasuk orang konseptualisme sekaligus sebagai rasionalistik yang artinya bahwa peranan akal dapat menundukkan kekuatan iman. Iman harus mau didahului oleh akal. Yang harus dipercaya adalah apa yang telah disetujui atau diterima akal. Berbeda dengan Anselmus, yang mengatakan bahwa berpikir harus sejalan dengan iman, Albaedrus memberikan alasan bahwa berpikir itu diluar iman. Hal ini sesuai dengan metode dialektika yang tanpa ragu-ragu ditunjukkan dalam  teologi, yaitu bahwa teologi harus memberikan tempat bagi semua bukti-bukti.[12]
Dibidang etika Abaelardus merintis pemikiran baru. Ia adalah orang pertama yang ingin menyusun etika bukan berdasarkan wibawa wahyu, tetapi tanpa meninggalkan moral kristiani. Tekanan diletakkan pada niat, yaitu maksud sesuatu dilakukan perbuatan manusia ditunjukkansebagai tanda kasih kepada Allah[13].

4.      Albertus Agung (1206-1280)
Didalam sejarah filsafat Albertus menduduki tempat yang istimewa sekali, sebab ia mempelajari filsafat demi filsafat, sebagai ilmu yang memiliki sasaran, dasar-dasar dan metodenya sendiri. Menurut Albertus secara hakiki iman harus dibedakan dengan pengetahuan yang diperoleh akal. Perbuatan iman lebih berdasarkan atas rasa-perasaan daripada atas pertimbangan akal. Maka isi kebenaran iman tidak dapat dibuktikkan. Sebagai contoh, bahawa dunia diciptakan oleh Allah dalam waktu, seumpamanya hal ini tidak dapat dibuktikan, maka penciptaan dalam waktu ini merupakan suatu kebenaran iman. Akan tetapi jika berbicara tentang Allah spontan mengatakan bahwa Allah ada dan dapat dibuktikan, sekalipun pembuktian itu dilakukan secara a posteriori. Maka “adanya Allah” bukan kebenaran iman, malainkan dasar iman.
Berdasarkan pandangan ini maka teologia dan filsafat harus dibedakan. Keduanya berdiri berdampingan dan memiliki sasaran serta metodenya sendiri-sendiri. Teologia bersandar kepada bahan-bahan yang diberikan iman. Teologia membicarakan hal-hal yang melayani keselamatan manusia, membicarakan hal-hal adikodrati atau yang mengatasi segala yang bersifat alamiyah. Orang memang memerlukan akal untuk berteologia, akan tetapi sumbernya terdapat pada wahyu yang bersifat adikodrati. Dan sebaliknya, filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang alamiyah, ilmu yang bekerja menggunakan akal, berlaku bagi semua orang, dan bersifat umum.[14]

5.      Thomas Aquinas (1225-1274)
Karya Thomas Aquinas telah menandai taraf yang tinggi dari aliran Skolastisisme pada abad pertengahan. Ia adalah seorang pendeta domonokan Gereja Katolik.  Ia berusaha untuk membuktikan, bahwa iman Kristen secara penuh dapat dibenarkan dengan pemikiran logis. Thomas telah menafsirkan bahwa Tuhan sebagai Tukang Boyong yang tidak pernah berubah dan yang tidak berhubungan atau  tidak mempunyai pengetahuan tentang kejahatan-kejahatan didunia. Tuhan tidak pernah mencipta dunia, tetapi zat dan pemikirannya tetap abadi.[15]
Selanjutnya ia mengatakan, bahwa iman lebih tinggi dan berada diluar pemikiran yang berkenaan sifat Tuhan dan alam semesta. Timbulnya pokok persoalan yang aktualdan praktis dari gagasannya adalah “pemikirannya dan kepercayaannya telah menemukan kebenaran mutlak yang harus diterima oleh orang-orang lain”. Pandangan inilah yang menjadikan perlawanan kaum Protestan, karena sifatnya yang otoriter.
Filsafat thomas dihubungkan erat sekali dengan teologia. Dengan demikian Thomas menyimpulkan adanya dua macam pengetahuan yang tidak saling bertentangan, tetapi yang berdiri sendiri-sendiri secara berdampingan, yaitu: pertama, pengetahuan alamiyah, yang berpangkal pada akal yang terang serta memiliki hal-hal yang bersifat insani umum sebagai sasarannya.  Kedua, pengetahuan iman, yang berpangkal dari wahyu dan memiliki kebenaran ilahi.
Pengertian-pengertian metafisisnya sebagian besar disebut substansi, tetapi bukan substansi sempurna, melainkan sebagai sesuatu yang masih berada dalam potensi dan aktus, bakat dan perealisasian. Thomas juga mengajarkan apa yang disebut theologia naturalis, yang mengajarkan bahwa manusia dengan pertolongan akalnya dapat mengenal Allah.[16]

6.      Yohanes Fidanza (1221-1257)   
Dia memiliki  pemikiran bahwa Allah ada baginya adalah suatu yang sangat jelas. Kehadiran Allah  tersirat dalam tiap  bentuk ilmu  pengetahuan yang pasti. Dengan demikian maka tidak semua pengetahuan diperoleh dengan pengenalan indrawi. Segala yang diciptakan tersusun dari materi dan bentuk, atau  dari potensi dan aktus. Hanya Allahlah yang memiliki bentuk murni, karena segala sesuatu yang ada pada Allah sempurna adanya. Sedangkan para malaikat sebagai makhluk yang murni rohani, tersusun dari materi dan bentuk tertentu. Begitupula dengan manusia tersusun dari materi dan banyak bentuk. Yang membedakan manusia dengan malaikat adalah akal yang dimilki manusia, karena akal manusia mendapat bagian zat ilahi.[17]
7.      Yohanes Duns Scotus (1266-1308)        
Duns Scotus berhasil menciptakan suatu sintese baru yang  bersifat filsafat-theologis, yang memakai bermacam-macam unsur pemikiran tradisional yang  diolah  sehingga mempunyai sifat sendiri. Menurutnya  pengalaman-pengalaman yang diperoleh melalui pengamatan dengan indra adalah  penting, karena dia selalu menekankan hal yang empiris. Duns Scotus juga berpendapat, bahwa ada hubungan yang selaras antara iman dan pengetahuan. Hal ini  memunculkan adanya dua macam kebenaran,  yaitu kebenaran yang sesuai  dengan akal dan kebenaran yang sesuai dengan iman.[18]

8.      William Ockham (1285-1349)
Menurut pendapatnya, pikiran manusia hanya dapat mengetahui barang-barang atau kejadian-kejadian individual,  dan konsep-konsep atau kesimpulan-kesimpulan umum tentang alam hanya merupakan abstraksi buatan tanpa kenyataan. Pemikiran yang hanya demikian ini, dapat dilalui hanya lewat intuisi, bukan lewat logika. Disamping itu ia membantah anngapan skolastik bahwa logika dapat membuktikan doktrin teologis.[19]
Menurutnya yang nyata hanyalah hal-hal  yang tunggal dalam kenyataan. Pengertian  umum  atau jenis tidak memiliki eksistensi, sebab hanya yang tinggal itulah yang tereksistensi. Universalia hanya berada pada akal saja. Pembedaan-pembedaan yang berarti adalah pembedaan yang nyata ada, artinya pembedaan  diantara hal-hal yang benar-benar dapat dipisahkan yang satu dengan yang lain. Dengan ini pembedaan yang tradisional antara  hakikat dan keberadaan ditiadakan.[20]
                          
9.      Nicolas Cusaus (1401-1464)
Ia sebagai tokoh pemikir yang berada paling akhir pada masa skolastik. Menurut pendapatnya, terdapat tiga cara untuk mengenal, yaitu:
a.       Melalui indera: akan mendapatkan pengetahuan tentang benda-benda berjasad, yang sifatnya tidak sempurna.
b.      Melalui Akal: akan mendapatkan bentuk-bentuk pengertian yang abstrak berdasar pada sajian atau tangkapan indera.
c.       Melalui intuisi: akan mendapatkan pengetahuan yang lebih tinggi. Hanya dengan intuisi inilah kita akan mempersatukan apa yang oleh akal tidak dapat dipersatukan.[21]

Segala makhluk  adalah gambar Allah dalam 3 alam, yaitu: alam indrawi, alam akali, dan alam rohani. Manusia sebagai kesatuan dari 3 alam ini menjadi pusat seluruh penciptaan. Ia adalah gambar Allah yang sempurna, suatu mikro-kosmos. Jiwanya tidak dapat mati dan hanya untuk sementara waktu saja dibubungkan dengan tubuh. Pada waktunya nanti seluruh jagad  raya akan kembali kepada Allah (sang penciptanya). Jalan kembali ini digerakkan oleh kasih, yang dimungkinkan oleh kristus.
Demikianlah pemikiran Nicolaus ini sebagai upaya mempersatukan seluruh pemikiran abad pertengahan, yang dibuat kesuatu sintesa yang lebih luas. Sintesa ini mengarah ke masa depan, dan pemikiranya ini tersirat suatu para humanis.[22]







BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah. Ada juga yang mengatakan bahwa kata skolastik diambil dari kata schuler yang berarti ajaran atau sekolahan. Jadi skolastik berarti aliran atau yang berkaitan dengan sekolah.
Pada zaman skolastik muncul beberapa pemikiran-pemikiran dari beberapa ahli yang meliputi :  Johanes Scotus Eriugena,  Anselmus, Petrus Abaelardus, Albertus Agung, Thomas Aquinas, Yohanes Fidanza, Yohanes Duns Scotus, William Ockham, dan Nicolas Cusasus.

B.     Saran
Dengan terselesaikannya makalah ini, diharapkan bagi semua pembaca untuk memahami filsafat pada zaman skolastik sehingga mengerti perkembangan filsafat terutama pada zaman pertengahan.



















DAFTAR PUSTKA

  Achmadi, Asmoro. 2001. Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada
  Maksum, Ali. 2011. Pengantar Filsafat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
  Hanafi, A. 1983. Filsafat Skolastik. Jakarta: Pustaka Alhusna
  Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Jogjakarta: Kanisius
  Ahmad Sadali & Mudzakir. 1999. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia
  Smith, Samuel. 1986. Gagasan-gagasan  Besar Tokoh-tokoh dalam Bidang Pendidikan, alih bahasa siapa ?. Jakarta: Bumi Aksara






[1]Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,2001) hlm.69
[2] Ali Maksum, Pengantar Filsafat, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 97
[3] A.Hanafi, Filsafat Skolastik, (Jakarta: Pustaka Alhuusna, 1983), hlm. 81
[4] Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Jogjakarta: Kanisius, 1980), hlm. 87
[5] Asmoro Achmadi, Op.Cit., hlm  69
[6] A. Hanafi, Op.Cit, hlm. 81
[7] Ahmad sadali dan Mudzakir, Filasfat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm.  80-81
[8] Ali Maksum, Op.Cit., hlm. 99
[9] Asmoro Achmadi, Op.Cit., hlm  64
[10] Dr. Harun Hadiwijono, Op.Cit., hlm. 89-90
[11] Ibid, hlm.94-96
[12] Ali Maksum, Op.Cit.,  hlm.105-106
[13]Dr. Harun Hadiwijoyo, Op.Cit.,hlm.96-97
[14] Ibid., hlm.101-102
[15] Samuel Smith, Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh dalam Bidang Pendidikan, alih bahasa siapa?, (Jakarta: Bumi Aksara, 1986), hlm. 79
[16]Dr. Harun Hadiwijoyo 104-112
[17] Ibid, hlm 113-114
[18] Dr. Harun Hadiwijono, Op.Cit., hlm. 114-115
[19] Asmoro Achmad, Op.Cit., hlm 77
[20] Dr. Harun Hadiwijono, Op.Cit., hlm 118-119
[21] Asmoro Achmadi, Op.Cit., hlm. 77-78
[22] Dr. Harun Hadiwijono, Op.Cit., hlm. 121