FILSAFAT MASA SKOLASTIK
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Pengantar Filsafat
Dosen
Pengampu : M. Fuad Al-Amin, Lc., M.P.I
Disusun Oleh :
1.
Khatika
(2021115129)
2.
Najihatul
Istiqomah (2021115130)
3.
Abdul
Mujib (2021115131)
4.
Yuris
Prudensi Islam (2021115133)
5.
Mirza
Khasanah (2021115132)
Kelas C
JURUSAN TARBIYAH/PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
filsafat pada abad pertengahan adalah suatu arah
pemikiran yang berbeda sekali dengan arah pemikiran dunia kuno. Filsafat abad
pertengahan menggambarkan suatu zaman yang baru sekali ditengah-tengah suatu rumpun bangsa yang
baru, yaitu bangsa Eropa barat. Filsafat yang baru ini disebut Skolastik.
Belakangan kata skolastik menjadi istilah bagi
filsafat pada abad 9-15 yang mempunyai corak khusus yaitu filsafat yang
dipengaruhi agama.
Secara historis, khazanah pemikiran filsafat Yunani
pernah mencapai kejayaan dan hasil yang gemilang dengan melahirkan peradaban
yunani. Menurut perkembangan sejarah pemikiran manusia, peradaban Yunani
merupakan titik tolak peradaban manusia di Dunia . Peradaban Yunani terus
menyebar keberbagai bangsa diantaranya adalah bangsa Romawi. Setelah filsafat
Yunani sampai kedaratan Eropa, disana mendapatkan lahan baru dari pertumbuhannya.
Masa skolastik termasuk dalam abad pertengahan yang
didalamnya terdapat pemikiran-pemikiran dari para tokoh masa tersebut, sehingga kita harus mempelajari
lebih detail masa skolastik dalam
fillsafat.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Filsafat
skolastik ?
2.
Apa saja pemikiran Filsafat mainstream skolastik ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Skolastik
Istilah
skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah.[1] Ada
juga yang mengatakan bahwa kata skolastik diambil dari kata schuler yang
berarti ajaran atau sekolahan.[2] Selain
itu juga, terdapat pendapat lain yang mengatakan bahwa skolastik bermula dari
perkataan “colastikus” yang dimaksudkan untuk guru yang mengajar
disekolah-sekolah atau “keluaran sakolah”.[3] Jadi
skolastik berarti sesuatu yang berkaitan dengan sekolah. Kata
skolastik menjadi istilah bagi filsafat pada abad 9-15 yang mempunyai
corak khusus yaitu filsafat yang dipengaruhi agama. Sebutan skolastik
mengungkapkan, bahwa ilmu pengetahuan abad pertengahan diusahakan oleh
sekolah-sekolah, dan bahwa ilmu itu terikat pada tuntutan pengajaran di sekolah-sekolah
itu. Semula Skolastik timbul di biara-biara tertua di Gallia Selatan. Dari biara-biara
di Gallia selatan itu pengaruh Skolastik keluar sampai di Irlandia, di
Nederland dan di Jerman. Kemudian Skolastik timbul di sekolah-sekolah kapittel,
yaitu sekolah-sekolah yang dikaitkan dengan gereja.[4]
Perkataan skolastik merupakan corak khas dari sejarah
filsafat abad pertengahan. Filsafat skolastik adalah filsafat yang mengabdi
pada teologi atau filsafat yang rasional memecahkan persoalan-persoalan
mengenai berpikir, sifat ada, kejasmanian, kerohanian, baik dan buruk. Terdapat
beberapa pengertian dari corak khas scolastik, yaitu:
a.
Filsaafat Skolastik adalah
filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama. Karena skolastik ini sebagai
bagian dari kebudayaan abad pertengahan yang religius.
b.
Filsafat Skolastik adalah
filsafat yang mengabdi kepada teologi, atau filsafat yang rasional memecahkan
persoalan-persoalan mengenai berfikir, sifat ada, kejasmanian, kerohanian, baik
maupun buruk. Dari rumusan tersebut kemudian muncul istilah: skolastik Yahudi,
skolastik Arab dan lain-lainnya.
c.
Filsafat Skolastik adalah suatu
sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat, akan dimasukkan
kedalam bentuk sintesa yang lebih tinggi antara kepercayaan dan akal.
Filsafat
masa skolastik merupakan filsafat yang tumbuh pada abad pertengahan. Dan filsafat
barat abad petengahan (476-1492) sendiri sering dikatakan sebagai “abad gelap” atau
“masa kegelapan”. Hal ini disebabkan karena pertama, abad pertengahan
adalah masa kebodohan dan kegelapan, yang
harus dilalui cepat-cepat untuk sampai pada Renaissance, yaitu masa terang dan
pengetahuan. Kedua, filsafat
skolastik diajarkan dan ditulis dengan menggunakan bahasa Latin yang tidak
tinggi, berkelibihan memakai syllogisme dan perdebatan-perdebatan kosong, serta
hanya membicarakan soal-soal agama.[6]
Selain itu
juga, dianggap “abad gelap” karena berdasarkan pada pendekatan sejarah gereja,
saat itu tindakan gereja sangat membelenggu kehidupan manusia, sehingga manusia
tidak lagi memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi dirinya. Semua
hasil-hasil pemikiran manusia diawasi oleh kaum gereja dan apabila terdapat
pemikiran yang bertentangan dengan ajaran gereja, maka orang yang
mengemukakannya akan mendapatkan hukuman yang berat.[7]
Pihak gereja juga melarang diadakannya penyelidikan-penyelidikan berdasarkan
rasio terhadap agama. Karena itu kajian terhadap agama (teologi) yang tidak
berdasarkan ketuhanan gereja akan mendapat larangan yang ketat. Yang berhak
melakukan penyelidikan terhadap agama hanyalah gereja. Dan jika ada yang
melanggar peraturan tersebut, mereka akan dianggap orang murtad dan
kemudian diadakan pengejaran (inkuisisi).[8]
Abad
pertengahan ini juga dapat dikatakan
sebagai suatu masa yang penuh dengan
upaya menggiring manusia kedalam kehidupan atau sistem kepercayaan yang
picik dan fanatik, dengan menerima ajaran gereja secara membabi buta. Karena
itulah perkembangan ilmu pengetahuan
terhambat. Maka ini penuh dengan dominasi gereja, yang tujuannya untuk membimbing umat kearah
hidup yang salah, tetapi disisi lain,
dominasi gereja ini tanpa dibarengi
dengan memikirkan martabat dan
kebebasan manusia yang mempunyai
perasaan, pemikiran, keinginan dan
cita-cita untuk menentukan masa depannya
sendiri.[9]
B.
Pemikiran
filsafat mainstream skolastik
Pada
masa skolastik kristen banyak muncul
tokoh-tokoh filsafat yang pemikirannya berpengaruh pada saat itu, diantaranya:
1. Johanes Scotes Uriugena (810-870)
Johanes Scotus Eriugena
(± 810-870) dari Irlandia adalah seorang yang ajaib sekali. Ia menguasai bahasa
Yunani dengan amat baik pada suatu zaman orang banyak hampir tidak mengenal
bahasa itu. Juga ia berhasil menyusun suatu sistem filsafat yang teratur secara
mendalam pada suatu zaman ketika orang masih berfikir hanya dengan mengumpulkan
pendapat orang lain saja.
Menurut Johanes Scotes
alam adalah keseluruhan realitas. Oleh karena itu hakikat alam adalah satu (esa).
Tetapi didalam alam yang esa itu dibedakan 4 bentuk, yaitu:
a. Alam yang menciptakan, tetapi yang sendiri tidak diciptakan.
Alam yang esa secara sempurna ini adalah Allah, satu-satunya realitas adalah
hakikat segala sesuatu, yang jauh melebihi segala penentuan, bahkan mengatasi
segala ”yang ada”. Menurut Johanes, segala nama Allah termasuk teologia yang
bersifat meneguhkan. Hal ini dikarenakan Allah bersifat transenden, hingga
hakekatnya tidak dapat dikenal. Dengan demikian maka satu-satunya realitas yang
ada tidak dapat dikenal dengan akal. Jadi segala pengetahuan manusia tentang
realitas yang satu itu tentu berdasarkan wahyu.
b. Alam yang menciptakan, tetapi yang sendiri diciptakan. Ini
adalah teofani yang pertama, yaitu dunia idea yang merupakan pola dasar segala
sesuatu. Kesatuan segala idea oleh Johanes disebut Logos. Didalam logos
“berada” dan “berfikir” merupakan satu kesatuan. Karena berfikir identik dengan
berada. Dan karena logos memikirkan idea, maka idea itu berada.
c. Alam yang diciptakan, tetapi yang sendiri tidak diciptakan.
Ini adalah teopani kedua, yaitu perealisasian segala sesuatu didalam dunia yang
tampak ini. Jagad raya keluar dari kedalaman Allah sendiri, dan seluruh isi
jagad raya adalah bentuk-bentuk penampakan segala idea, sehingga mewujudkan
tanda-tanda.
d. Alam tidak menciptakan dan tidak diciptakan. Inilah Allah
sebagai bentuk alam yang keempat. Allah dipandang sebagai tujuan terakhir segala sesuatu, pengaliran kembali
(remanasi) yang mengikuti pengaliran keluar (emanasi).
Pemikiran filsafat Johanes berdasarkan keyakinan kristiani, sehingga segala
penelitiannya dimulai dari iman, sedang wahyu ilahi dipandang sebagai sumber bahan-bahan
filsafatnya. Menurutnya akal bertugas mengungkapkan arti yang sebenarnya dari
bahan-bahan filsafat yang di galinya dari wahyu ilahi.
Pangkal pemikiran metafisik johanes adalah jika makin umum sifat sesuatu,
maka makin nyatalah sesuatu itu. Karena itu zat yang sifatnya paling umum tentu
memiliki realitas yang paling tinggi. Didalam pemikiran metafisis ini tersirat
suatu etika yang demikian: Manusia harus berusaha menuju kepada suatu kesatuan
dengan Allah, yang hanya dapat dicapai
dalam suatu pengetahuan mistis yang mengatasi segala pemikiran akal dan
pengalaman indrawi.[10]
2. Anselmus (1033-1109)
Anselmus dari
Canterbury (1033-1109) dilahirkan di Aosta, Piemont, yang kemudian menjadi
uskup di Canterbury. Sekalipun sebagian karyanya ditulis pada abad ke-11, akan
tetapi karya-karyanya itu besar sekali pengaruhnya atas pemikiran Skolastik,
maka tiada keberatan untuk membicarakan tokoh ini sebagai termasuk tokoh abad
ke-12. Pemikiran dialektika, atau pemikiran dengan akal, diterima sepenuhnya
bagi pemikiran teologia. Akan tetapi bukan dalam arti bahwa hanya akallah yang
dapat memimpin orang kepada kepercayaan, melainkan bahwa orang harus percaya
dahulu supaya dapat mendapatkan pengertian yang benar akan kebenaran.
Menurut Anselmus,
pengertian-pengertian umum atau universalia bukan hanya sebutan saja, akan
tetapi juga memiliki realitas. Universalia benar-benar ada kenyataannya, bebas
daripada segala hal yang individual, yaitu berada sebagai idea-idea di dalam
Allah. Baik pandangan tentang pemikiran akali, maupun pandangannya tentang
universelia itu dikaitkan dengan pandangan tentang bukti-bukti tentang
adanya Allah.[11]
3. Petrus Abaelardus
(1079-1142)
Mempunyai kepribadian
yang keras dan pandangannya sangat tajam, sehingga sering kali bertengkar
dengan para ahli pikir dan pejabat gereja. Ia termasuk orang konseptualisme sekaligus
sebagai rasionalistik yang artinya bahwa peranan akal dapat menundukkan
kekuatan iman. Iman harus mau didahului oleh akal. Yang harus dipercaya adalah
apa yang telah disetujui atau diterima akal. Berbeda dengan Anselmus, yang
mengatakan bahwa berpikir harus sejalan dengan iman, Albaedrus memberikan
alasan bahwa berpikir itu diluar iman. Hal ini sesuai dengan metode dialektika
yang tanpa ragu-ragu ditunjukkan dalam teologi,
yaitu bahwa teologi harus memberikan tempat bagi semua bukti-bukti.[12]
Dibidang etika
Abaelardus merintis pemikiran baru. Ia adalah orang pertama yang ingin menyusun
etika bukan berdasarkan wibawa wahyu, tetapi tanpa meninggalkan moral
kristiani. Tekanan diletakkan pada niat, yaitu maksud sesuatu dilakukan
perbuatan manusia ditunjukkansebagai tanda kasih kepada Allah[13].
4. Albertus Agung (1206-1280)
Didalam sejarah
filsafat Albertus menduduki tempat yang istimewa sekali, sebab ia mempelajari
filsafat demi filsafat, sebagai ilmu yang memiliki sasaran, dasar-dasar dan
metodenya sendiri. Menurut Albertus secara hakiki iman harus dibedakan dengan
pengetahuan yang diperoleh akal. Perbuatan iman lebih berdasarkan atas
rasa-perasaan daripada atas pertimbangan akal. Maka isi kebenaran iman tidak
dapat dibuktikkan. Sebagai contoh, bahawa dunia diciptakan oleh Allah dalam
waktu, seumpamanya hal ini tidak dapat dibuktikan, maka penciptaan dalam waktu
ini merupakan suatu kebenaran iman. Akan tetapi jika berbicara tentang Allah
spontan mengatakan bahwa Allah ada dan dapat dibuktikan, sekalipun pembuktian
itu dilakukan secara a posteriori. Maka “adanya Allah” bukan kebenaran
iman, malainkan dasar iman.
Berdasarkan pandangan
ini maka teologia dan filsafat harus dibedakan. Keduanya berdiri berdampingan
dan memiliki sasaran serta metodenya sendiri-sendiri. Teologia bersandar
kepada bahan-bahan yang diberikan iman. Teologia membicarakan hal-hal yang
melayani keselamatan manusia, membicarakan hal-hal adikodrati atau yang
mengatasi segala yang bersifat alamiyah. Orang memang memerlukan akal untuk
berteologia, akan tetapi sumbernya terdapat pada wahyu yang bersifat adikodrati.
Dan sebaliknya, filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang alamiyah,
ilmu yang bekerja menggunakan akal, berlaku bagi semua orang, dan bersifat
umum.[14]
5. Thomas Aquinas (1225-1274)
Karya Thomas Aquinas
telah menandai taraf yang tinggi dari aliran Skolastisisme pada abad
pertengahan. Ia adalah seorang pendeta domonokan Gereja Katolik. Ia berusaha untuk membuktikan, bahwa iman
Kristen secara penuh dapat dibenarkan dengan pemikiran logis. Thomas telah
menafsirkan bahwa Tuhan sebagai Tukang Boyong yang tidak pernah berubah dan
yang tidak berhubungan atau tidak
mempunyai pengetahuan tentang kejahatan-kejahatan didunia. Tuhan tidak pernah
mencipta dunia, tetapi zat dan pemikirannya tetap abadi.[15]
Selanjutnya ia mengatakan,
bahwa iman lebih tinggi dan berada diluar pemikiran yang berkenaan sifat Tuhan
dan alam semesta. Timbulnya pokok persoalan yang aktualdan praktis dari
gagasannya adalah “pemikirannya dan kepercayaannya telah menemukan kebenaran
mutlak yang harus diterima oleh orang-orang lain”. Pandangan inilah yang
menjadikan perlawanan kaum Protestan, karena sifatnya yang otoriter.
Filsafat thomas
dihubungkan erat sekali dengan teologia. Dengan demikian Thomas menyimpulkan
adanya dua macam pengetahuan yang tidak saling bertentangan, tetapi yang
berdiri sendiri-sendiri secara berdampingan, yaitu: pertama, pengetahuan
alamiyah, yang berpangkal pada akal yang terang serta memiliki hal-hal yang
bersifat insani umum sebagai sasarannya.
Kedua, pengetahuan iman, yang berpangkal dari wahyu dan memiliki
kebenaran ilahi.
Pengertian-pengertian
metafisisnya sebagian besar disebut substansi, tetapi bukan substansi sempurna,
melainkan sebagai sesuatu yang masih berada dalam potensi dan aktus, bakat dan
perealisasian. Thomas juga mengajarkan apa yang disebut theologia naturalis,
yang mengajarkan bahwa manusia dengan pertolongan akalnya dapat mengenal Allah.[16]
6. Yohanes Fidanza (1221-1257)
Dia memiliki pemikiran bahwa Allah ada baginya adalah
suatu yang sangat jelas. Kehadiran Allah
tersirat dalam tiap bentuk
ilmu pengetahuan yang pasti. Dengan
demikian maka tidak semua pengetahuan diperoleh dengan pengenalan indrawi.
Segala yang diciptakan tersusun dari materi dan bentuk, atau dari potensi dan aktus. Hanya Allahlah yang
memiliki bentuk murni, karena segala sesuatu yang ada pada Allah sempurna
adanya. Sedangkan para malaikat sebagai makhluk yang murni rohani, tersusun
dari materi dan bentuk tertentu. Begitupula dengan manusia tersusun dari materi
dan banyak bentuk. Yang membedakan manusia dengan malaikat adalah akal yang
dimilki manusia, karena akal manusia mendapat bagian zat ilahi.[17]
7. Yohanes Duns Scotus (1266-1308)
Duns Scotus berhasil
menciptakan suatu sintese baru yang bersifat
filsafat-theologis, yang memakai bermacam-macam unsur pemikiran tradisional
yang diolah sehingga mempunyai sifat sendiri.
Menurutnya pengalaman-pengalaman yang
diperoleh melalui pengamatan dengan indra adalah penting, karena dia selalu menekankan hal
yang empiris. Duns Scotus juga berpendapat, bahwa ada hubungan yang selaras
antara iman dan pengetahuan. Hal ini
memunculkan adanya dua macam kebenaran,
yaitu kebenaran yang sesuai
dengan akal dan kebenaran yang sesuai dengan iman.[18]
8.
William
Ockham (1285-1349)
Menurut
pendapatnya, pikiran manusia hanya dapat mengetahui barang-barang atau
kejadian-kejadian individual, dan
konsep-konsep atau kesimpulan-kesimpulan umum tentang alam hanya merupakan
abstraksi buatan tanpa kenyataan. Pemikiran yang hanya demikian ini, dapat
dilalui hanya lewat intuisi, bukan lewat logika. Disamping itu ia membantah
anngapan skolastik bahwa logika dapat membuktikan doktrin teologis.[19]
Menurutnya
yang nyata hanyalah hal-hal yang tunggal
dalam kenyataan. Pengertian umum atau jenis tidak memiliki eksistensi, sebab
hanya yang tinggal itulah yang tereksistensi. Universalia hanya berada pada
akal saja. Pembedaan-pembedaan yang berarti adalah pembedaan yang nyata ada,
artinya pembedaan diantara hal-hal yang
benar-benar dapat dipisahkan yang satu dengan yang lain. Dengan ini pembedaan
yang tradisional antara hakikat dan
keberadaan ditiadakan.[20]
9. Nicolas Cusaus (1401-1464)
Ia sebagai tokoh
pemikir yang berada paling akhir pada masa skolastik. Menurut pendapatnya, terdapat
tiga cara untuk mengenal, yaitu:
a. Melalui
indera: akan mendapatkan pengetahuan tentang benda-benda berjasad, yang
sifatnya tidak sempurna.
b. Melalui
Akal: akan mendapatkan bentuk-bentuk pengertian yang abstrak berdasar pada
sajian atau tangkapan indera.
c. Melalui
intuisi: akan mendapatkan pengetahuan yang lebih tinggi. Hanya dengan intuisi
inilah kita akan mempersatukan apa yang oleh akal tidak dapat dipersatukan.[21]
Segala makhluk adalah gambar Allah dalam 3 alam, yaitu: alam
indrawi, alam akali, dan alam rohani. Manusia sebagai kesatuan dari 3 alam ini
menjadi pusat seluruh penciptaan. Ia adalah gambar Allah yang sempurna, suatu
mikro-kosmos. Jiwanya tidak dapat mati dan hanya untuk sementara waktu saja
dibubungkan dengan tubuh. Pada waktunya nanti seluruh jagad raya akan kembali kepada Allah (sang
penciptanya). Jalan kembali ini digerakkan oleh kasih, yang dimungkinkan oleh
kristus.
Demikianlah pemikiran Nicolaus
ini sebagai upaya mempersatukan seluruh pemikiran abad pertengahan, yang dibuat
kesuatu sintesa yang lebih luas. Sintesa ini mengarah ke masa depan, dan
pemikiranya ini tersirat suatu para humanis.[22]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istilah skolastik
adalah kata sifat yang berasal dari kata school,
yang berarti sekolah. Ada juga yang mengatakan bahwa kata skolastik diambil
dari kata schuler yang berarti ajaran atau sekolahan. Jadi
skolastik berarti aliran atau yang berkaitan dengan sekolah.
Pada zaman skolastik
muncul beberapa pemikiran-pemikiran dari beberapa ahli yang meliputi : Johanes Scotus Eriugena, Anselmus, Petrus Abaelardus, Albertus Agung,
Thomas Aquinas, Yohanes Fidanza, Yohanes Duns Scotus, William Ockham, dan Nicolas
Cusasus.
B. Saran
Dengan terselesaikannya
makalah ini, diharapkan bagi semua pembaca untuk memahami filsafat pada zaman
skolastik sehingga mengerti perkembangan filsafat terutama pada zaman
pertengahan.
DAFTAR
PUSTKA
Achmadi, Asmoro. 2001. Filsafat
Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Maksum, Ali. 2011. Pengantar
Filsafat. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Hanafi, A. 1983. Filsafat
Skolastik. Jakarta: Pustaka Alhusna
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari
Sejarah Filsafat Barat 1. Jogjakarta: Kanisius
Ahmad Sadali & Mudzakir.
1999. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia
Smith, Samuel. 1986. Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh dalam Bidang Pendidikan,
alih bahasa siapa ?. Jakarta: Bumi Aksara
[1]Asmoro
Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,2001) hlm.69
[2] Ali
Maksum, Pengantar Filsafat, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 97
[3]
A.Hanafi, Filsafat Skolastik, (Jakarta: Pustaka Alhuusna, 1983), hlm. 81
[4] Dr.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Jogjakarta: Kanisius,
1980), hlm. 87
[5] Asmoro
Achmadi, Op.Cit., hlm 69
[6] A.
Hanafi, Op.Cit, hlm. 81
[7] Ahmad
sadali dan Mudzakir, Filasfat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
hlm. 80-81
[8]
Ali Maksum, Op.Cit., hlm. 99
[9] Asmoro
Achmadi, Op.Cit., hlm 64
[10] Dr.
Harun Hadiwijono, Op.Cit., hlm. 89-90
[11] Ibid,
hlm.94-96
[12] Ali
Maksum, Op.Cit., hlm.105-106
[13]Dr.
Harun Hadiwijoyo, Op.Cit.,hlm.96-97
[14] Ibid.,
hlm.101-102
[15] Samuel
Smith, Gagasan-gagasan Besar Tokoh-tokoh dalam Bidang Pendidikan, alih
bahasa siapa?, (Jakarta: Bumi Aksara, 1986), hlm. 79
[16]Dr.
Harun Hadiwijoyo 104-112
[17] Ibid,
hlm 113-114
[18] Dr.
Harun Hadiwijono, Op.Cit., hlm. 114-115
[19] Asmoro
Achmad, Op.Cit., hlm 77
[20] Dr.
Harun Hadiwijono, Op.Cit., hlm 118-119
[21] Asmoro
Achmadi, Op.Cit., hlm. 77-78
[22] Dr.
Harun Hadiwijono, Op.Cit., hlm. 121